Segenap ASN dan Tenaga Honorer KELURAHAN PASAR KOTA Mengucapkan:
HUT RI ke-72
INDONESIA KERJA BERSAMA
Tanpa terasa, tidak lama
lagi Indonesia akan melaksanakan upacara bendera Peringatan HUT
Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-72. Kini, 72 tahun sudah
Indonesia merdeka lepas dari tangan-tangan penjajah dan deskriminasi.
Namun,
bukan berarti hal demikian lantas mengakhiri perjuangan para pahlawan
yang telah gugur mendahului kita. Pahlawan yang berjuang mempertaruhkan
segalanya yang mereka punya untuk dapat memerdekakan Indonesia tercinta
ini bukanlah tidak penuh hal yang mudah. Kita sebagai penerus bangsa
yang baik, harusnya bisa meneruskan dan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia sampai nanti.
Diterjemahkan oleh Noriko Ishida, Museum Bronbeek di Arnhem, Belanda
Suara trompet dan gendang mulai terdengar dari jauh ketika saya
berjalan menuju ke tempat upacara peringatan di pusat Rengat, sebuah
kota kecil di provinsi Sumatra Tengah. Berbagai jenis anggota masyarakat
- pejabat dalam pakaian dinas atau militer, pejabat kepolisian, anak
sekolah, guru dan veteran - berbaris di depan tugu yang dibangun di
sebelah Sungai Indragini yang lebar dan cokelat. Upacara Peringatan
Peristiwa Rengat dimulai dengan sambutan-sambutan yang menbicarakan
Agresi Militer Belanda. Bupati meletakkan karangan bunga di pelataran
tugu. Setelah upacara, semua yang hadir berjalan ke tepi sungai dan
menaburkan bunga pada sungai. Saya, seorang Belanda, juga diizinkan ikut
menaburkan bunga.
Begitu Perang Dunia II berakhir 71 tahun yang lalu, Sukarno
memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945. Segera setelahnya pecahlah perang gerilya yang mengerikan terhadap
penjajah lama, Belanda. Antara tahun 1945 dan 1949, datang 140,000
orang militer Belanda untuk menjaga 'hukum dan ketenteraman'. Jumlah
orang yang hampir sama meninggal. Setelah itu, Indonesia terseret ke
dalam keadaan perang sipil. Peristiwa Rengat adalah salah satu serangan
terhadap orang-orang sipil di Sumatra oleh pasukan khusus Belanda yang
dinamakan Korps Speciale Troepen. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 5
Januari 1949, pada akhir periode Agresi Militer Belanda II. Menurut
sumber Indonesia, hampir 2000 orang meninggal, sedangkan dokumen Belanda
menyebutkan perkiraan 80. Anehnya, peristiwa berdarah ini belum
mendapat tempat di dalam sejarah nasional baik bagi Indonesia maupun
Belanda.
Di Belanda, kekerasan semasa Revolusi Nasional Indonesia dibiarkan
tidak diteliti selama puluhan tahun. Kalau pun ada penelitian,
penelitian itu dilakukan berdasarkan sudut pandang pihak Belanda saja.
Pergulatan berat yang berlangsung selama lima tahun penuh itu dikenal
oleh masyarakat umum Belanda sebagai ‘aksi polisionil’ (politionele
acties), istilah yang samar dan terlalu halus. Sejumlah peristiwa
kekerasan diringkas ke dalam dua rangkaian peristiwa yang kecil-kecil
saja. Pernyataan resmi dari perdana menteri pada tahun 1969, yang dibuat
berdasarkan penelitian arsip selama hanya tiga bulan, mengatakan bahwa
kekerasan yang ekstrem yang terjadi selama periode itu hanya bersifat
‘insidental’. Laporan penelitian arsip tersebut yang disusun oleh Cees
Fasseur, ahli sejarah Belanda, diberi judul Nota Ekses (Excessennota).
Sebuah daftar peristiwa-peristiwa yang 'instidental' dapat ditemukan di
dalamnya. Akan tetapi, baru-baru ini hasil penelitian yang lain
diumumkan di Belanda, yang menyimpulkan bahwa kekerasan ekstrem tentara
Belanda adalah justru 'struktural'.*
Apa yang terjadi di Rengat sebenarnya? Kemudian, mengapa kejadian itu jadi begitu tak terkendali?
Cocor merah
Panca Setyawan Prihatin adalah dosen di universitas
setempat. Almarhum ayahnya, Wasmad Rads, adalah seorang veteran. Saya
dijemput Panca di lapangan udara Pekanbaru, kota minyak di Sumatra
Tengah. Ayahnya saksi mata serangan Belanda yang dinamakan 'Operasi
Lumpur' (Operatie Modder) itu. Operasi itu bertujuan untuk menguasai
kembali pertambangan minyak yang terletak persis di sebelah utara Rengat
dan di Air Molek, kota dekatnya. Autobiografi Rads menceritakan
bagaimana kejadian itu dimulai pada pagi hari tanggal 5 Januari 1949.
Ketika ia sedang berlajan di dalam kota, mendadak terdengarnya swara
pesawat terbang di langit. Pesawat terbang yang ia namakan 'cocor merah'
itu pesawat tempur-pengebom P-51 Mustang. Pesawat itu menjatuhkan bom
pada jalan raya, pada pasar yang rame, bahkan pada pemukiman warga kota.
"Mereka juga menembak orang-orang yang ada di bawah." Rads dan temannya
Himron Saheman, sama-sama anggota TNI, menyembunyikan diri ke dalam gua
di tepi sungai. Ketika saya mewawancarai Himron yang sudah berusia 90
tahun, dia mengatakan bahwa dia ingin menembak balas pesawat-pesawat
itu. "Tapi saya dilarang Rads. Itu tidak berguna, malah kita akan
dibunuh, lebih baik bersembunyi saja, bigitu kata Rads." Panca mengantar
saya ke gua 'jendela sungai' yang menyelamatkan jiwa mereka.
Soldiers of the 1st Parachutists Company
of the Corps Special Troops get ready for departure early in the morning
at airfield Tjililitan (Jakarta) in a Dakota that will drop them above
Jambi (Operation Magpie) - Credit: Nederlands Instituut voor Militaire
Historie (Netherlands Institute for Military History)
Sekitar jam 11 pagi, setelah pesawat Mustang menghilang, 180 orang
penerjun payung udara diterjunkan di daerah Sekip dekat Rengat. Kepala
pasukan payung udara adalah, menurut sumber Belanda, Letnan Rudy de Mey.
Ahli sejarah militer Jaap de Moor menulis di dalam bukunya tentang
pasukan khusus Belanda yang berjudul Perang Westerling (Westerlings
Oorlog, 1999) bahwa De Mey dihadapkan 'perlawanan yang dahsyat' dari
tentara Indonesia yang mencoba untuk melarikan diri dari Rengat. Para
penerjun payung udara Belanda membalasnya dengan tembakan senjata api.
Menurut De Moor, itulah yang menyebabkan kematian 80 orang, militer dan
sipil. Jumlah itu persis sama dengan jumlah di dalam Nota Ekses. Dia
tidak memberikan jumlah orang yang tewas di pihak Belanda.
Hampir tidak ada bukti lagi ditemukan di Sekip yang menjadi saksi
bisu peristiwa tersebut. Seorang warga mengingat adanya lubang peluru di
tembok sebuah rumah, tapi rumah itu baru-baru ini direnovasi. Setelah
serangan penerjun payung udara itu, nama daerah diubah menjadi 'Sekip
Sipayung'. Kami pergi ke Pasanggrahan, gedung peristirahatan milik
pemerintah yang berdiri di 'Kwartir Eropa' di pusat kota, tempat para
pegawai pemerintah Hindia-Belanda dulu bekerja. Itu merupakan salah satu
gedung kuno peninggalan zaman Belanda yang kini tinggal sedikit di
Rengat. Lantainya dari tegel Belanda. Atapnya juga khas Belanda. Rads
menulis di dalam bukunya bahwa di situ semua pegawai pemerintah, bersama
27 orang agen polisi, seorang penjaga dan empat penjaga penjara disuruh
berbaris di halaman, ditembak mati, dan dibuang ke dalam sungai.
'Seperti Hollander'
Di antara orang-orang yang dibunuh, ada bupati yang bernama Tulus.
Pada Upacara Peringatan Peristiwa Rengat, saya duduk berjejeran dengan
dua orang anak perempuan Tulus, Nini Turaiza dan Tuhilwi Tulus, dan cucu
Tulus, Naya. Anak laki-laki sulung Tulus adalah penyair ternama Chairil
Anwar, yang ketika itu tinggal di Jakarta. "Dia itu seperti Hollander;
tinggi, besar, dan necis," kata Nini tentang ayahnya, sambil menunjuk ke
atas dengan tongkatnya. "Dia fasih dalam bahasa Belanda, dan
menghormati Ratu Wilhelmina." Karena dia dulunya pegawai pemerintah
Hindia-Belanda, dia tidak melarikan diri.
Kami berjalan ke bekas rumah Nini dan Tuhilwi yang berdiri di dekat
sungai. Pada tanggal 5 Januari 1949 ibu mereka menyembunyikan mereka
berdua dan anak perempuan dua yang lain di dalam rumah. Tentara Belanda
menembak mati ayah mereka di depan rumahnya, dekat di sungai, bersama
asistennya yang bernama Simatupang dan dua orang pegawai yang lain.
Menurut saksi mata, tentara Belanda sungkan untuk membunuh Tulus yang
tetap tenang dan tabah. "Makanya mereka menembaknya dari belakang," kata
Nini. Setelah itu tentara Belanda datang kembali ke rumah, tempat
keluarga Simatupang juga ikut bersembunyi. Mereka harus berdiri
berbaris. Ibunya Nini membentak, "Mau membunuh anak-anak ini juga?"
Sehari kemudian datang lagi tentara Belanda dan Ambon, dan menyuruh
perempuan yang ada di rumah untuk datang bersama mereka ke markas
tentara. "Bunuh saya dulu kalau mau membawa saya ke sana," jawab ibunya.
Begitu serdadu-serdadu itu pergi, ibunya lari bersama anak-anaknya ke
rumah familinya yang tinggal di tempat lain di kota. Nini masih ingat di
tengah berlari sepanjang sebuah gang melihat kurang lebih dua puluh
badan manusia begitu saja bergeletak di atas tanah. Mereka tidak bisa
melakukan pemakaman yang sepantasnya untuk ayah yang dibunuh karena
badannya bersama dengan badan-badan yang lain dibuang ke dalam sungai.
"Setelah itu kehidupan menjadi sulit bagi ibu saya. Dia harus
membesarkan lima orang anak seorang diri." Sampai dengan kedatangan
saya, Nini sangat marah terhadap orang-orang Belanda, katanya. Dia tidak
mau memakai basaha Belanda yang dipelajarinya pada sama muda. "Ik wil
niet Nederlands spreken - Saya tidak mau berbahasa Belanda," kata Nini
sering kepada saya. Akan tetapi setelah kami mulai berbicara tentang
masa perang dan pentingnya saling berbagi sejarah, dia mulai mengucapkan
selamat tidur dan selamat pagi dalam bahasa Belanda kepada saya.
Melalui organisasi veteran setempat, kami dapat bertemu dengan
keluarga korban yang lain, Ibu Roslia. Dia tinggal di sebuah rumah
kampung yang sederhana. Ayam dan anak-anak berkeliaran di sekitarnya.
Keluarganya mengatakan bahwa Ibu Roslia itu berumur sekitar 78 tahun.
Meski masih sangat kecil pada tanggal 5 Januari 1949, dia ingat
mendengar jatuhnya bom pada pagi hari itu. Ayahnya, seorang petani,
membawa keluarganya ke seberang sungai memakai perahu kecil karena sana
lebih aman. Ketika menyeberang, mereka melihat dua orang anggota TNI di
dalam air melambai-lambaikan tangan dan minta tolong. Ayahnya kembali ke
sungai dan mengangkat dua orang tentara itu ke dalam perahunya, tapi
dia ditembak tentara Belanda. Keluarganya bersembunyi di dalam hutan
selama tiga hari, menyambung hidupnya dengan apa yang terdapat di hutan
dan makanan pemberian dari sanaknya. "Hampir semua warga kampung
melarikan diri ke dalam hutan," kata Ibu Roslia. Di kemudian hari mereka
mencoba untuk mencari badan ayahnya, tapi tidak dapat. Saudara Ibu
Roslia mengatakan bahwa ia melihat banyak mayat terapung di sungai.
Mayat-mayat itu "telungkup semua. Orang-orang yang mencari kenalannya
yang hilang, mencoba untuk membalik-balikkannya." Lima orang omnya Ibu
Roslia meninggal di pasar pada hari itu. Rambutan dan manggis
dihidangkan kepada kami. Kami makan hidangan itu tanpa berkata apa-apa,
dan terus mendengarkan ceritanya yang diiringi hujan yang deras.
"Tidak baik!"
Apa pemerintah Belanda, yang setelah perang mendaftarkan peristiwa di
Rengat itu sebagai salah satu 'insiden', tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi? Sebelum saya pergi ke Sumatra, saya cari materinya di Arsip
Nasional di Den Haag. Saya menemukan dokumen yang mengatakan bahwa
mereka memang tahu, tapi mereka memutuskan untuk memandang peristiwa itu
dengan cara yang lain. Nota Ekses mengatakan bahwa pemerintah Belanda
menyuruh untuk melakukan penyelidikan intern atas serangan di Rengat,
bukannya hanya sebuah tapi dua buah penyelidikan.
Penyelidikan yang satu adalah penyelidikan sipil yang dilakukan
sebagai tanggapan terhadap keluhan pegawai pemerintah Belanda setempat.
Residen, kepala daerah tertinggi setempat pada tahun 1949, menggambarkan
perbuatan tentara Belanda itu 'lebih dari kriminalitas' di dalam sebuah
surat kepada atasannya di Jakarta: 400 orang yang sedang bekerja di
kantor 'ditembak dari belakang'. Akan tetapi, jaksa Belanda yang
bertanggungjawab di daerah Riau menyelesaikan perkara itu dalam
laporannya sebagai situasi yang lepas dari pengendalian belaka. Di
sebelah kata-kata keluhan residen tersebut di atas, terdapat coretan
pencilan: 'omong kosongnya pengomel'. Jaksa itu megeluh bahwa dirinya
menderita 'infeksi telinga' dan 'tidak berdaya' sedemikian rupa sehingga
tidak dapat pergi ke Rengat untuk menyelidikinya sendiri. Berdasarkan
informasi dari seorang pegawai pemerintah setempat, dia menunjukkan
jumlah orang yang tewas 120: 84 orang 'tak bersenjata' dan 36 orang
'bersenjata'. Di dalam daftar nama 120 orang yang terlampir, terdapat
nama Bupati Tulus. Tiga puluh enam orang 'bersenjata' adalah 27 orang
agen polisi dan 5 orang penjaga yang Rads catat di dalam bukunya, dan 4
orang anggota TNI. Jaksa menyatakan sebagai kesimpulan bahwa 'kurang
lebih 80 orang' tewas dalam situasi yang 'terjerumus ke malapetaka',
tapi jumlah itu 'luar biasa diperbesar' oleh para narasumber yang berat
sebelah. Jumlah yang dikemukakan sebagai kesimpulan oleh jaksa inilah
yang akan dipakai ulang di dalam pernyataan resmi pemerintah Belanda
sejak itu.
Tentara juga melakukan penyelidikan. Jendral Simon Spoor, komandan
tertinggi tentara Belanda di Indonesia, menyuruh penyelidikan karena dia
kurang enak dengan apa yang dia kebetulan dengar. Paling tidak 22 orang
warga Sekip memberikan pernyataan saksi mata, ditambah pula surat
korespondensi antara perwira Belanda. Ceritanya mengerikan. Seorang
perempuan menyatakan bahwa suaminya dibunuh dan anak putrinya yang
berumur 24 tahun diperkosa. Seorang laki-laki mengatakan bahwa anak
putrinya yang berumur 16 tahun yang sedang hamil ditembak mati ketika
rumahnya dijarah. Masih ada cerita bahwa orang-orang diburu sampai ke
tepi sungai dan ditembak dengan senapan mesin, perempuan ditembak
bersama bayinya yang digendong, seorang ayah dibunuh bersama tiga orang
putranya, dan sebagainya dan sebagainya. Setelah pembunuhan, warganya
disuruh untuk melemparkan mayat-mayatnya ke dalam sungai. Kelihatannya,
kebanyakan penembakan itu dilakukan secara acak. Seorang kepala desa
mengatakan bahwa pelurunya menembus keluar dari rumah bambu. Sedangkan,
para tentara mengatakan bahwa mereka sengaja mencari 'orang yang
bersenjata' seperti agen polisi. Ironisnya, kebanyakan orang bersenjata
yang dibunuh itu bekerja lama, kadang puluhan tahun, untuk orang-orang
Belanda sebelum Perang Kemerdekaan.
Penyelidikan militer ini berhasil mengambil kesaksian kekerasan dari
pihak Belanda juga. Seorang Ambon perwira intel tentara Belanda
menceritakan bahwa sekitar seratus orang yang bersembunyi di dalam gua
di tepi sungai di bawah dermaga, termasuk perempuan dan anak, ditembak
oleh tentara Belanda. "Saya melihat mayat-mayatnya terhanyut." Seorang
perwira Belanda yang dikirim untuk menginspeksi 'Kwartir Eropa'
menyatakan bahwa ia melihat bekas, bahkan genangan, darah. Berdasarkan
mayat-mayat yang dilihatnya hanyut di sungai, termasuk 'mayat perempuan
yang membopong anaknya', dia menulis bahwa sepertinya pembantaian
terjadi, tapi dia mengira bahwa pembantaian itu oleh TNI.
Akan tetapi tidak ada kelanjutan untuk penyelidikan militer itu. Di
dalam Nota Ekses, adanya pernyataan saksi mata pun tidak disebutkan.
Entah kebetulan atau apa, sebuah berita di media umum jadi menarik
perhatian perdana menteri. Berita tersebut dimuatkan di dalam sebuah
koran di Singapura yang diterbitkan segera setelah terjadinya peristiwa.
Menteri Luar Negeri Belanda memperlihatkan itu kepada PM Drees. Menteri
Teritori Luar Negeri juga membacanya dan mengirim nota: "Telah dibaca.
Tidak baik!" Apakah mereka mengambil langkah selanjutnya atau tidak,
kita tidak tahu. Diberitakan bahwa lebih dari seribu orang dibunuh di
Rengat. Orang-orang Belanda membiarkan 'orang Indonesia membunuh orang
Indonesia,' maksudnya, orang-orang Ambon di dalam tentara Belanda. Nota
Ekses membisu terhadap berita di koran Singapura itu.
Pendek kata, pemerintah Belanda dari masa ke masa belum pernah menanggapi perkara ini dengan serius.
Lebih dari seribu
Kembali ke Rengat. Tugu itu monumen yang putih. Di atas papan logam,
tersurat 186 buah nama 'korban peristiwa'. Sebelum nama-nama itu ada
tulisan: 'kurang lebih 1,500 orang' meninggal. Semua orang yang menulis
buku tentang peristiwa ini, Wasmad Rads, Himron Saheman, dan ahli
sejarah setempat Susilowadi, menegaskan di dalam bukunya bahwa ribuan
orang meninggal. Angka ini bersilisih besar dengan angka di dalam
arsip-arsip Belanda. Arsip Belanda juga mencoba untuk memberikan
beberapa keterangan tentang mengapa terjadi perselisihan sebesar itu.
Asisten residen, seorang Belanda, menulis di dalam suratnya kepada
pemerintah Belanda bahwa orang-orang sungkan memberikan saksi mata
karena takut pada balas dendam dari tentara Belanda yang pada waktu itu
masih ada di situ. Seorang pegawai sipil Belanda menyatakan bahwa
kebanyakan orang yang dibunuh di Rengat merupakan pengunjung dari luar
yang tidak didaftar sebagai penduduk Rengat.
Sekip menjadi fokus penyelidikan, tapi kelihatannya Sekip bukan
satu-satunya tempat yang terlibat. Di kampung Simpanglima kami
mewawancarai Ibu Rubina, 77 tahun, anak putri korban peristiwa. Ibu
Rubina yang masih kecil mendengar bersama orang tuanya bom berjatuhan di
kota. Dia masih bisa menirukan suara pasukan payung yang anjlok dan
membuka payung (balon, kata Ibu Rubina) di udara. Pasukan itu mulai
menembak dengan senapan mesin, dan orang-orang kampung berlari-lari
mencari persembunyian. Serdadu-serdadu mendatangi rumahnya dan menembak
ayahnya, seorang petani. "Kami temukan sebuah lobang kecil dari peluru
di atas dadanya, tapi seluruh punggungnya compang-camping seperti
meledak," kata Ibu Rubina. Sepertinya, ini mengindikasikan dipakainya
'dumdum' yang dilarang. Serdadu-serdadu itu bukan orang Ambon, tapi
orang Belanda putih, tandasnya. "Salah satunya gemuk dan tinggi." Hampir
semua tetangganya dibunuh, kata Ibu Rubina. Mayatnya tergeletak di
mana-mana, termasuk mayat anak-anak kecil.
Setelah suasana mereda, Ibu Rubina keluar dan melihat mayat-mayat
yang banyak di pasar, di jalan, dan di depan kantor pos. Suster yang
mati berjatuhan di depan rumah sakit. Di dalam laporan polisi yang
terdapat di dalam dosir penyelidikan militer, diceritakan bahwa Yatinah,
seorang suster yang berumur 15 tahun, dibunuh karena dia menolak
berhubungan dengan serdadu-serdadu itu. Namanya terdapat juga di dalam
daftar nama korban di arsip Belanda dan juga di atas papan logam di
tugu. Mayat-mayat yang terapung di sungai itu begitu banyak dan
desak-desakan satu sama yang lain, sehingga 'itu membentuk sebuah
lapangan,' cerita Ibu Rubina. Ia memperkirakan jumlahnya 'lebih dari
seribu'. Orang-orang sekitar sungai lama tidak bisa makan ikan dari
sungai. Keluarga Ibu Rubina pernah membeli ikan dan dari perutnya keluar
jari manusia. Cerita Ibu Rubina ini kembali ditegaskan oleh Encik
Masfar, 89 tahun, yang kami wawancarai kemudian. Dia melihat mayat-mayat
yang berjumlah 'sekitar 1,600' terapung di sungai. Itu memanjang dari
pusat kota sampai sejauh jangkauan mata. Dia pusing dan muak dengan
baunya. "Ada mayat yang tersangkut pada pohon yang terapung." Beberapa
mayat memakai seragam militer, tapi kebanyakan telanjang, tambahnya.
Setelah kembali di Belanda, saya mencocokkan bersama Bart Luttikhuis,
ahli sejarah di KITLV, daftar nama korban 186 orang di tugu dengan
daftar nama korban 120 orang dalam laporan penyelidikan sipil Belanda.
Ternyata, nama yang cocok di kedua daftar itu hanya 36 buah. Bila kedua
daftar itu dianggap benar, jumlah korban menjadi 270 orang. Akan tetapi,
begitu kecilnya jumlah nama yang cocok di dua daftar mengisyaratkan
bahwa kedua-duanya tidak lengkap. Jumlah korban yang sebenarnya sudah
tidak dapat dilacak. Apa yang jelas adalah bahwa jumlah itu besar dan
bahwa jauh lebih dari 80 orang kehilangan nyawa.
Tidak terkendali?
Mengapa peristiwa itu berjalan begitu tak terkendali? Apa memang
benar peristiwa itu berjalan liar sampai tak terkendali seperti
disimpulkan oleh si jaksa itu, atau, perbuatan korps pasukan khusus dan
pasukan payungnya di Rengat itu sudah sesuai norma kerja dan instruksi?
Kelihatannya, tidak ada kepemimpinan yang baik pada serangan di Rengat.
Residen mengeluh dalam laporannya tentang tidak baiknya koordinasi dan
kurang bermutunya personel militer. Dua orang sosiolog Belanda, Hendrix
dan Van Doorn sudah menyatakan di dalam bukunya yang diterbitkan pada
tahun 1970 bahwa kekerasan massal selama Perang Kemerdekaan Indonesia
oleh pasukan-pasukan tersebut merupakan hal 'struktural', bukan
'insidental'. Ahli sejarah De Moor menggarisbawahi bahwa membunuh adalah
tugas mereka: mereka adalah satuan pelawan gerilyawan. De Moor
menyimpulkan bahwa 'eksekusi dan pembantaian tawanan perang sering
terjadi' selama operasi militer pasukan khusus itu; itu merupakan
'prosedur standar' mereka. Dokumen-dokumen yang saya baca membenarkannya
dan juga memperlihatkan bahwa Rengat bukan perkecualian selama 'aksi
polisionil' di Sumatra. Tidak jauh sebelum serangan di Rengat, pasukan
payung yang sama melakukan kekerasan yang ekstrem di Jambi, kota
berdekatan. Di dalam laporan penyelidikan militer tersebut di atas,
terdapat pula pernyataan oleh seorang fotografer perang Belanda bahwa
meski pasukannya dapat mendarat di Jambi tanpa perlawanan apa-apa, toh
mereka menembak gila-gilaan. Bahkan mereka melakukan 'penjarahan dan
perusakan' juga. Pekerja-pekerja di rumah sakit disuruh berdiri
menghadapi dinding, kemudian 'seorang tentara Eropa yang memegang
karabin besar' menembak tiga orang pemuda yang memakai tanda palang
merah. "Mereka yang jatuh tergeletak tapi masih bergerak di atas tanah
ditembak lagi kepalanya oleh tentara yang lain dengan pistol."
Keterangan yang lain adalah bahwa para personel pasukan payung itu
sudah sangat letih dan kemungkinan minum pil sebelum mendarat di Rengat.
Setelah peristiwa di Rengat, komandan pasukan Kapten W.D.H. Eekhout
menulis kepada atasannya bahwa 'tiga orang tentara jatuh pingsan'
sebelum 'menaiki pesawat untuk terjun.' Mereka benar-benar terlampau
letih setelah tiga kali terjun dalam tiga minggu: Yogyakarta, Jambi, dan
Rengat. Oleh karena itu, Eekhout memberikan Benzedrine kepada anak
buahnya. Pil ini banyak dipakai selama Perang Dunia II dan kemudian
selama Perang Vietnam. Pil yang bekerja seperti pil Speed ini dimaksud
untuk 'menghilangkan keletihan.' Celakanya, pasukan payung itu
sebelumnya secara kebetulan didaratkan di sawah di luar Sekip yang
sedang kebanjiran. Mereka hampir tercekik dalam lumpur. 'Operasi ini
benar-benar pantas dinamakan Operasi Lumpur,' tulis Eekhout.
Barangkali budaya pasukan khusus pun ikut memainkan peranan. Letnan
Rudy de Mey yang berdinas memimpin serangan di Rengat adalah teman
dekatnya Kapten Raymond Westerling, mantan komandan pasukan khusus yang
terkenal kejinya dan bertanggungjawab atas terbunuhnya ribuan orang
Indonesia di Sulawesi Selatan. Ahli sejarah Swiss-Belanda Rémy Limpach
menulis di dalam artikelnya yang berjudul 'Bekerja seperti biasa'
(Business as usual) bahwa para pejabat tinggi militer Belanda menilai
pembunuhan di Sulawesi Selatan itu prestasi yang gemilang dan teladan
yang pantas ditiru. Di dalam memoarnya yang berterang-terangan
diterbitkan di Belanda pada tahun 1952, Westerling menggambarkan dirinya
sebagai 'ratu adil', 'Robin Hood' di Timur, pembela rakyat kecil,
pencipta ketenteraman dan perdamaian. Dia menggambarkan misi militernya
seolah-olah sama dengan misi suci yang diserukan di dalam Kitab Injil.
'DNA' yang diturunkannya kepada rekan-rekannya seperti De Mey dibentuk
atas sebuah keyakinan: orang Indonesia harus dibebaskan dari orang
Indonesia yang lain melalui kekerasan massal. Dia adalah Yakub yang
memisahkan domba hitam dari domba putih. Kepercayaan Westerling pada De
Mey begitu besar sehingga sejak September 1947 De Mey diserahi
kepemimpinan atas aksi istimewa seperti yang di Rengat. Bila membaca
buku oleh De Moor, terjumpai sana-sini kebingungan moral pemerintah
Belanda terhadap 'pembersihan' yang dilakukan De Mey. Pada mulanya,
memisahkan domba dari domba rasanya seperti tugas yang mustahil, tapi
akhirnya datanglah Sang Penebus, Westerling sendiri, yang berbuat jasa
begitu besar dan banyak sehingga memperoleh sejumlah halaman yang
diperuntukkan baginya di dalam buku sejarah. Seolah sebagai seorang
martir, dia menyatakan dengan bangga kesanggupannya akan menjadi kambing
hitam untuk apa saja yang berjalan salah di Indonesia.
Sebelum terbang kembali ke Belanda dari Pekanbaru, saya pergi bersama
Panca ke makam ayahnya, Wasmad Rads, yang meninggal pada tahun 2014.
Setelah serangan di Rengat, dia ditangkap dan disiksa tentara Belanda
selama setangah tahun. "Datangnya orang Belanda terlambat," kata Pancan
kepada saya, mengenai kunjungan saya ke Rengat. Ayahnya tidak sakit
hati, tapi, lanjut Panca, dia pasti ingin meninjau kembali apa yang
terjadi itu bersama orang-orang Belanda, tidak untuk melampiaskan
kemarahannya, tapi hanya untuk mengatakan, "Itulah yang benar-benar
terjadi di atas diri saya." Mengapa itu tidak terjadi ketika dia masih
hidup? Mengapa baik Belanda maupun Indonesia tidak menulis peristiwa di
Rengat itu di dalam buku sejarah nasionalnya masing-masing?
Pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas di bagian berikutnya.
*Swiss-Dutch historian Rémy Limpach’s dissertation at the University
of Bern concluded in September 2015 that Dutch military behaviour was
structural. Dutch KITLV director Gert Oostindie confirmed this statement
with KITLV research in his 2015 book Soldaat in Indonesia 1945-1950 (Soldier in Indonesia 1945-1950). In 2014 Colonial Counterinsurgency and Mass Violence was
published, edited by Bart Luttikhuis and Dirk Moses with contributions
of Dutch historians such as Remco Raben, Peter Romijn and Stef
Scagliola. Anne-Lot Hoek (annelot@annelothoek.com)adalah
jurnalis Belanda. Dia belajar sejarah di Universitas Amsterdam dan pada
saat ini sedang menulis buku tentang Bali semasa Perang Kemerdekaan
Indonesia 1945-1950. Versi pendek tulisan ini ditampilkan pada awal
tahun 2016 di dalam NRC Handelblad, sebuah harian Belanda. Bagian kedua
tulisan ini dapat dibaca didisini. Website:www.annelothoek.nl. Catatan tentang terjemahan: Museum Bronbeek di Arnhem, Belanda,
memamerkan koleksi besar mengenai Hindia Belanda serta Tentara Kerajaan
Hindia Belanda (KNIL). Di samping museum terletak Panti Asuhan Kerajaan
untuk tentara pensiunan. Pameran museum menceritakan sejarah Hindia
Belanda, merenungkan peperangan kolonial dan berbagai perspektif atas
sejarah kolonialisme Belanda. http://www.insideindonesia.org/rengat-1949-bagian-1
Selesai Mengikuti Upacara HARI JADI Provinsi Riau Ke-60 Tahun, Tanggal, 09 Agustus 2017Di Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu
Pembentukan ProvinsiRiau
ditetapkan dengan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957. Kemudian
diundangkan dalam Undang-undang Nomor 61 tahun 1958. Sama halnya dengan
provinsi lain yang ada di Indonesia, untuk berdirinya Provinsi Riau
memakan waktu dan perjuangan yang cukup panjang, yaitu hampir 6 tahun (17 November1952 s/d 5 Maret1958).